welcome to my world

welcome to my world
selamat datang kawan, selamat surfing di duniaku
dunia pendidikan

Sabtu, 17 Desember 2011

Resiliensi manusia


BAB I
PENDAHULUAN
Resiliensi atau daya lentur merupakan salah satu istilah dalam bidang psikologi. Paradigmanya didasarkan pada pandangan yang muncul dari lapangan psikologi ataupun sosiologi mengenai bagaimana seseorang baik anak, remaja, dan orang dewasa sembuh dari keterpurukan, trauma, ataupun stress akibat dari masalah yang sedang dialami. Ada individu yang mampu bertahan dan bangkit dari situasi yang negative. Namun, tidak sedikit pula individu yang gagal keluar dari situasi negative tersebut.
Dikaitkan dengan remaja, dimana resiliensi ini merupakan kemampuan yang dimiliki oleh remaja itu sendiri yang tidak mengalah ketika menghadapi tekanan dan masalah. Mereka mampu mengendalikan diri dari hal-hal yang negative, misalnya dari penggunaan obat-obatan terlarang, kenakalan remaja, dan perbuatan negative lainnya. Hal ini dikarenakan oleh beberapa faktor dari resiliensi itu sendiri yang dapat bersumber dari diri seseorang, kekuatan personal, ataupun dari kekuatan sosial individu.
Didalam islam terdapat banyak dalil-dalil yang melarang manusia untuk berputus asa, seperti dalam Qs. Yusuf ayat 87, yang artinya:
jangan kamu berputus asa dari rahmat Allah, Sesungguhnya tiada berputus asa dari rahmat Allah, melainkan kaum yang kafir".
Begitupula dalam Qur’an surat Az-Zumar ayat 53, yang artinya:
“janganlah kamu berputus asa dari rahmat Allah. Sesungguhnya Allah mengampuni dosa-dosa  semuanya”
Dengan demikian  Islam menghendaki umatnya untuk selalu berusaha dan bangkit dari keterpurukan yang sedang dihadapi. Daya bangkit atau daya lenting ini disebut juga dengan resiliensi.



BAB II
PEMBAHASAN

A.    Pengertian Resiliensi
Manusia hidup di dunia ini memiliki tipe yang berbeda-beda. Ada individu yang mudah bangkit dan mampu bertahan terhadap situasi negative yang dialaminya. Namun ada pula individu yang tidak mampu bertahan didalam kondisi negative tersebut. Kemampuan individu untuk melanjutkan hidup setelah ditimpa kemalangan, tetapi hal tersebut tetap menggambarkan adanya kemampuan untuk bertahan individu dikenal dengan istilah resiliensi.
Resiliensi adalah suatu kemampuan yang dimiliki individu atau kelompok masyarakat untuk dapat menghadapi, mencegah, meminimalkan dan  menghilangkan dampak-dampak yang merugikan dari keadaan yang tidak menyenangkan. Menurut Block dalam klohnen (1996), resiliensi dirumuskan dengan nama ego-resiliensi yaitu suatu kemampuan yang melibatkan kemampuan penyesuaian diri yang tinggi dan luwes saat dihadapkan pada tekanan dari dalam maupun tekanan dari luar. Sedangkan menurut Grotberg, menyatakan resiliensi adalah kemampuan seseorang untuk menilai, mengatasi, dan meningkatkan diri ataupun mengubah dirinya dari kesengsaraan dalam hidup. Karena setiap manusia yang hidup pasti memiliki masalah atau kesulitan didalam hidupnya.
Bidang spiritual mempunyai pengaruh terhadap resiliensi. Dimana semakin tinggi spiritualitas seseorang maka akan semakin tinggi pula resiliensinya.

B.     Komponen Resiliensi
1. Regulasi emosi
Regulasi emosi adalah kemampuan untuk tetap tenang di bawah tekanan. Individu yang memiliki kemampuan meregulasi emosi dapat mengendalikan dirinya apabila sedang kesal dan dapat mengatasi rasa cemas, sedih, atau marah sehingga mempercepat dalam pemecahan suatu masalah. Pengekspresian emosi, baik negatif ataupun positif, merupakan hal yang sehat dan konstruktif asalkan dilakukan dengan tepat. Pengekpresian emosi yang tepat merupakan salah satu kemampuan individu yang resilien. Mengemukakan dua hal penting yang terkait dengan regulasi emosi, yaitu ketenangan (calming) dan fokus (focusing). Individu yang mampu mengelola kedua keterampilan ini, dapat membantu meredakan emosi yang ada, memfokuskan pikiran-pikiran yang mengganggu dan mengurangi stress.
2. Pengendalian impuls
Mendefinisikan pengendalian impuls sebagai kemampuan mengendalikan keinginan, dorongan, kesukaan, serta tekanan yang muncul dari dalam diri seseorang. Individu dengan pengendalian impuls rendah sering mengalami perubahan emosi dengan cepat yang cenderung mengendalikan perilaku dan pikiran mereka. Individu seperti itu seringkali mudah kehilangan kesabaran, mudah marah, impulsif, dan berlaku agresif pada situasi-situasi kecil yang tidak terlalu penting, sehingga lingkungan sosial di sekitarnya merasa kurang nyaman yang berakibat pada munculnya permasalahan dalam hubungan sosial.
3. Optimisme
Individu yang resilien adalah individu yang optimis. Mereka memiliki harapan di masa depan dan percaya bahwa mereka dapat mengontrol arah hidupnya. Dalam penelitian yang dilakukan, jika dibandingkan dengan individu yang pesimis, individu yang optimis lebih sehat secara fisik, dan lebih jarang mengalami depresi, lebih baik di sekolah, lebih peoduktif dalam kerja, dan lebih banyak menang dalam olahraga. Optimisme mengimplikasikan bahwa individu percaya bahwa ia dapat menangani masalah-masalah yang muncul di masa yang akan datang.
4. Empati
Empati merepresentasikan bahwa individu mampu membaca tanda-tanda psikologis dan emosi dari orang lain. Empati mencerminkan seberapa baik individu mengenali keadaan psikologis dan kebutuhan emosi orang lain. Selain itu, Werner dan Smith menambahkan bahwa individu yang berempati mampu mendengarkan dan memahami orang lain sehingga ia pun mendatangkan reaksi positif dari lingkungan. Seseorang yang memiliki kemampuan berempati cenderung memiliki hubungan sosial yang positif.
5. Analisis penyebab masalah
Seligman mengungkapkan sebuah konsep yang berhubungan erat dengan analisis penyebab masalah yaitu gaya berpikir. Gaya berpikir adalah cara yang biasa digunakan individu untuk menjelaskan sesuatu hal yang baik dan buruk yang terjadi pada dirinya.
Gaya berpikir dibagi menjadi tiga dimensi, yaitu: 1)Personal (saya-bukan saya) individu dengan gaya berpikir ‘saya’ adalah individu yang cenderung menyalahkan diri sendiri atas hal yang tidak berjalan semestinya. Sebaliknya, Individu dengan gaya berpikir ‘bukan saya’, meyakini penjelasan eksternal (di luar diri) atas kesalahan yang terjadi. 2)Permanen (selalu-tidak selalu) : individu yang pesimis cenderung berasumsi bahwa suatu kegagalan atau kejadian buruk akan terus berlangsung. Sedangkan individu yang. optimis cenderung berpikir bahwa ia dapat melakukan suatu hal lebih baik pada setiap kesempatan dan memandang kegagalan sebagai ketidakberhasilan sementara. 3) Pervasive (semua-tidak semua) : individu dengan gaya berpikir ‘semua’, melihat kemunduran atau kegagalan pada satu area kehidupan ikut menggagalkan area kehidupan lainnya. Individu dengan gaya berpikir‘tidak semua’, dapat menjelaskan secara rinci penyebab dari masalah yang ia hadapi. Individu yang paling resilien adalah individu yang memiliki fleksibilitas kognisi dan dapat mengidentifikasi seluruh penyebab yang signifikan dalam permasalahan yang mereka hadapi tanpa terperangkap dalam explanatory style tertentu.
6. Efikasi diri
Mendefinisikan efikasi diri sebagai keyakinan pada kemampuan diri sendiri untuk menghadapi dan memecahkan masalah dengan efektif. Efikasi diri juga berarti meyakini diri sendiri mampu berhasil dan sukses. Individu dengan efikasi diri tinggi memiliki komitmen dalam memecahkan masalahnya dan tidak akan menyerah ketika menemukan bahwa strategi yang sedang digunakan itu tidak berhasil. Individu yang memiliki efikasi diri yang tinggi akan sangat mudah dalam menghadapi tantangan. Individu tidak merasa ragu karena ia memiliki kepercayaan yang penuh dengan kemampuan dirinya. Individu ini akan cepat menghadapi masalah dan mampu bangkit dari kegagalan yang ia alami.
7. Peningkatan aspek positif
Resiliensi merupakan kemampuan yang meliputi peningkatan aspek positif dalam hidup . Individu yang meningkatkan aspek positif dalam hidup, mampu melakukan dua aspek ini dengan baik, yaitu: (1) mampu membedakan risiko yang realistis dan tidak realistis, (2) memiliki makna dan tujuan hidup serta mampu melihat gambaran besar dari kehidupan. Individu yang selalu meningkatkan aspek positifnya akan lebih mudah dalam mengatasi permasalahan hidup, serta berperan dalam meningkatkan kemampuan interpersonal dan pengendalian emosi.[1]

C.    Faktor-Faktor Resiliensi
Didalam resiliensi ini, ada beberapa faktor yang dapat menunjukkan seseorang itu berresiliensi. Adapun faktor-faktor yang mempengaruhi resiliensi individu menurut Grotberg, antara lain:
1.   I Am
Faktor I am ini merupakan kekuatan yang berasal dari diri individu itu sendiri. Seperti tingkah laku, perasaan, dan kepercayaan yang terdapat didalam diri seseorang. Faktor I am ini dibagi menjadi beberapa bagian, yaitu:
a.       Bangga pada diri sendiri
Individu memiliki rasa bangga terhadap dirinya sendiri serta mengetahui dan menyadari bahwa dirinya adalah seseorang yang penting. Selain itu, seseorang juga tidak akan membiarkan orang lain menghina ataupun meremehkannya. Oleh karena itu, individu harus mampu bertahan dan menyelesaikan masalah yang sedang dihadapinya. Salah satu yang dapat membantu mereka untuk bertahan dalam menghadapi masalah adalah kepercayaan diri yang tertanaman dalam diri masing-masing individu.
b.      Perasaan dicintai dan sikap yang menarik
Seseorang dapat mengatur sikap ketika menghadapi respon-respon yang berbeda-beda ketika berbicara dengan orang lain. Kemudian individu akan mampu bersikap baik terhadap orang-orang yang menyukai dan mencintainya. Individu mampu merasakan mana yang benar dan mana yang salah serta ingin ikut di dalamnya.
c.       Mencintai, empati, altruistic
Ketika seseorang mencintai orang lain, maka individu tersebut akan peduli terhadap segala sesuatu yang terjadi pada orang dicintainya. Adanya ketidaknyamanan dan penderitaan jika orang yang dicintai terkena masalah, kemudian adanya keinginan untuk menghentikan penderitaan tersebut.
d.      Mandiri dan bertanggung jawab
Tanggung jawab berarti berbuat sebagai perwujudan kesadaran akan kewajibannya. Tiap-tiap manusia sebagai makhluk Allah bertanggung jawab atas perbuatannya sesuai dengan Qs. Al-Mudatsir ayat 38[2]. Manusia mempunyai kebebasan untuk melakukan segala sesuatu sesuai dengan kehendaknya. Individu juga harus mampu menerima segala konsekuensi dari tindakan tersebut. Seseorang mampu mengerti dan memahami batasan-batasan terhadap berbagai kegiatan yang dilakukan.
2.   I Have
I have merupakan salah satu aspek yang mempengaruhi resiliensi yang berasal dari luar. Adapun sumber-sumbernya, adalah:
a.       Struktur dan aturan rumah
Didalam keluarga pasti memiliki aturan-aturan yang harus ditaati oleh setiap anggota keluarga. Dimana akan ada hukuman dan peringatan jika aturan tersebut tidak dilaksanakannya. Sebaliknya, jika peraturan itu dilaksanakan akan diberikan pujian atau bahkan akan diberikan reward.
b.      Role Models
Role models yaitu orang-orang yang dapat menunjukkan apa yang individu harus lakukan seperti informasi terhadap sesuatu dan memberi semangat agar individu mengikutinya.[3]
c.       Mempunyai hubungan
Selain dukungan dari orang-orang terdekat seperti suami, istri, orang tua, dan anak, kadangkala seorang individu juga membutuhkan dukungan dan cinta dari orang lain yang dianggap mampu memberikan kasih sayang yang mungkin tidak dapat diperoleh dari orang-orang terdekat mereka.
3.   I Can
I Can merupakan salah Satu faktor resiliensi yang berkaitan dengan kompetensi sosial dan interpersonal seseorang. Bagian-bagian faktor I Can, adalah:
a.       Mengatur berbagai perasaan dan rangsangan
Dimana individu mampu mengenali rangsangan, dan segala jenis emosi. Kemudian menunjukkan dalam bentuk  kata-kata ataupun  tingkah laku dan perbuatan. Individu juga mampu mengatur rangsangan untuk berbuat kekerasan terhadap orang lain seperti memukul, merusak barang, dan perbuatan lainnya.
b.      Mencari hubungan yang dapat dipercaya
Individu mampu mendapatkan seseorang yang dapat dipercaya untuk mampu membantu menyelesaikan masalah yang sedang dihadapinya. Dapat diajak berdiskusi, ataupun dimintai pertolongan. Kepercayaan kepada orang lain itu sudah tentu percaya terhadap kata hatinya, perbuatan yang sesuai dengan kata hati, atau terhadap kebenarannya.[4]
c.       Keterampilan berkomunikasi
Kemampun individu untuk mampu menunjukkan pikiran dan perasaan kepada orang lain. Serta kemampuan untuk mendengar dan memahami perasaan yang dirasakan oleh orang lain.
d.      Mengukur temperamen diri sendiri dan orang lain
Kemampuan untuk dapat memahami temperamen dirinya sendiri dan temperamen orang lain baik ketika diam, mengambil resiko ataupun ketika bertingkah laku. Dengan adanya kemampuan untuk memahami temperamen seseorang, maka akan membantuindividu dalam berkomunikasi.
e.       Kemampuan memecahkan masalah
Kemampuan individu dalam menilai suatu masalah, kemudian mencari hal-hal yang dibutuhkan dalam usaha pemecahan masalah tersebut. Individu dapat membicarakan masalah-masalah yang sedang dihadapinya dengan orang lain. Kemudian menemukan pemecahan masalah yang sesuai. Individu akan tetap bertahan pada masalah itu sampai masalah tersebut dapat terpecahkan.
Seseorang yang beresiliensi harus memiliki tiga faktor tersebut, yaitu I am, I have dan I can. Seseorang yang hanya memiliki salah satu faktor saja tidak termasuk orang yang berresiliensi.

D.    Karakteristik Individu Yang Memiliki Resiliensi
1.      Insight
Insight adalah kemampuan untuk memahami dan memberi arti pada situasi, orang-orang yang ada di sekitar, dan nuansa verbal maupun nonverbal dalam komunikasi, individu yang memiliki insight mampu menanyakan pertanyaan yang menantang dan menjawabnya dengan jujur. Hal ini membantu mereka untuk dapat memahami diri sendiri dan orang lain serta dapat menyesuaikan diri dalam berbagai situasi.
2.      Kemandirian
Kemandirian ialah kemampuan untuk mengambil jarak secara emosional maupun fisik dari sumber masalah dalam hidup seseorang. Kemandirian melibatkan kemampuan untuk menjaga keseimbangan antara jujur pada diri sendiri dengan peduli pada orang lain. Orang yang mandiri tidak bersikap ambigu dan dapat mengatakan “tidak” dengan tegas saat diperlukan. Ia juga memiliki orientasi yang positif dan optimistik pada masa depan.
3.      Hubungan
Seseorang yang resilien dapat mengembangkan hubungan yang jujur, saling mendukung dan berkualitas bagi kehidupan, ataupun memiliki role model yang sehat. Karakteristik ini berkembang pada masa kanak-kanak dalam perilaku kontak (contacting), yaitu mengembangkan ikatan-ikatan kecil dengan orang¬ lain yang mau terlibat secara emosional. Remaja mengembangkan hubungan dengan melibatkan diri (recruiting) dengan beberapa orang dewasa dan teman sebaya yang suportif dan penolong. Pada masa dewasa, hubungan menjadi matang dalam bentuk kelekatan (attaching), yaitu ikatan personal yang menguntungkan secara timbal balik dimana ada karakteristik saling memberi dan menerima.
4.      Inisiatif
Inisiatif adalah keinginan kuat untuk bertanggung jawab akan hidup. Individu yang resilien bersikap proaktif, bukan reaktif, bertanggung jawab dalam pemecahan masalah, selalu berusaha memperbaiki diri ataupun situasi yang dapat diubah, serta meningkatkan kemampuan mereka untuk menghadapi hal-hal yang tak dapat diubah. Mereka melihat hidup sebagai rangkaian tantangan dimana mereka yang mampu mengatasinya. Anak-anak yang resilien memiliki tujuan yang mengarahkan hidup mereka secara konsisten dan mereka menunjukkan usaha yang sungguh-sungguh untuk berhasil di sekolah.
5.      Kreativitas
Kreativitas melibatkan kemampuan memikirkan berbagai pilihan, konsekuensi, dan alternatif dalam menghadapi tantangan hidup. Individu yang resilien tidak terlibat dalam perilaku negatif sebab ia mampu mempertimbangkan konsekuensi dari tiap perilakunya dan membuat keputusan yang benar. Kreativitas juga melibatkan daya imajinasi yang digunakan untuk mengekspresikan diri dalam seni, serta membuat seseorang mampu menghibur dirinya sendiri saat menghadapi kesulitan. Anak yang resilien mampu secara kreatif menggunakan apa yang tersedia untuk pemecahan masalah dalam situasi sumber daya yang terbatas. Selain itu, bentuk-bentuk kreativitas juga terlihat dalam minat, kegemaran, kegiatan kreatif dari imajinatif.
6.      Humor
Humor adalah kemampuan untuk melihat sisi terang dari kehidupan, menertawakan diri sendiri, dan menemukan kebahagiaan dalam situasi apapun. Seseorang yang resilien menggunakan rasa humornya untuk memandang tantangan hidup dengan cara yang baru dan lebih ringan. Rasa humor membuat saat-saat sulit terasa lebih ringan.
7.      Moralitas
Moralitas atau orientasi pada nilai-nilai ditandai dengan keinginan untuk hidup secara baik dan produktif. Individu yang resilien dapat mengevaluasi berbagai hal dan membuat keputusan yang tepat tanpa takut akan pendapat orang lain. Mereka juga dapat mengatasi kepentingan diri sendiri dalam membantu orang yang membutuhkan. Moralitas adalah kemampuan berperilaku atas dasar hati nurani.[5]



E.     Contoh-contoh perilaku resiliensi
Dalam lingkungan kita mungkin sering terjadi perilaku-perilaku resiliensi, yang kadang tidak disadari oleh diri sendiri dan orang lain. Beberapa contoh perilaku resiliensi, antara lain:
1.      Resiliensi yang terjadi pada anak jalanan. Dimana anak jalanan mudah terkena masalah-masalah baik berasal dari keluarganya ataupun dari kehidupan di jalanan itu sendiri. Kemudian, bagaimana anak-anak itu mengatasi segala konsekuensi dari masalah-masalah di keluarga ataupun masalah di jalanan. Kemampuan anak yang telah mengalami keburukan dimasa kecil namun tetap mencapai keberhasilan dimasa dewasa adalah sebagai kekuatan atau daya untuk mampu mencegah, meminimalkan, ataupun mengatasi peristiwa buruk yang telah terjadi pada dirinya. Kekuatan-kekuatan itu disebut dengan resiliensi.
2.      Seseorang yang terkena penyakit HIV Aids, dimana sampai saat ini penyakit ini belum ditemukan obatnya. Namun, karena adanya dukungan dan cinta dari orang-orang terdekat serta adanya kekuatan yang berasal dari dalam diri individu itu sendiri maka orang itu dapat bertahan dan mempunyai motivasi atau keinginan untuk sembuh.
3.      Keterpurukan yang dialami oleh seorang siswa yang tidak lulus dalam mengikuti ujian nasional. Namun, siswa tersebut tetap bangkit untuk menatap hari esok. Berusaha agar ujian nasional berikutnya dapat berhasil. Dan karena keyakinan dari dirinya sendiri, serta dukungan dari orang lain maka dia tetap berusaha.


BAB III
PENUTUP
Islam tidak menghendaki umatnya untuk mudah berputus asa. Oleh karena itu, jika seseorang sedang berada pada keadaan yang terpuruk sebaiknya berusaha untuk bangkit (resiliensi).
Resiliensi merupakan suatu proses yang alamiah terjadi dalam diri individu. Hanya saja, seberapa waktu yang diperlukan oleh seseorang untuk melewati proses tersebut bersifat individual. Ada berbagai faktor yang mempengaruhi cepat lambatnya seseorang pulih kembali ke keadaannya yang semula, baik yang berasal dari diri sendiri maupun dari lingkungan. Selain itu, ada faktor resiko maupun faktor pelindung. Faktor resiko mencakup hal-hal yang dapat menyebabkan dampak buruk, seperti kondisi fisik yang kurang menguntungkan, kemiskinan, hubungan keluarga yang kurang harmonis, serta pengalaman traumatis yang pernah dialami sebelumnya dan belum teratasi. Sedangkan faktor pelindung bersifat menunda, meminimalkan, bahkan menetralisir hasil akhir yang negatif. Misalnya kegigihan, optimisme, serta dukungan dari keluarga dan lingkungan terdekat.
Individu dengan resiliensi yang baik adalah individu yang optimis, yang percaya bahwa segala sesuatu dapat berubah menjadi lebih baik. Individu mempunyai harapan terhadap masa depan dan percaya bahwa individu dapat mengontrol arah kehidupannya. Optimis membuat fisik menjadi lebih sehat dan mengurangi kemungkinan menderita depresi. Resiliensi adalah kapasitas untuk merespon secara sehat dan produktif ketika berhadapan dengan kesengsaraan atau trauma, yang diperlukan untuk mengelola tekanan hidup sehari-hari. Faktor yang mendukung resiliensi, diantaranya adalah dukungan sosial, berhubungan dengan tingkat stress yang rendah. Individu dengan resiliensi yang tinggi memiliki dukungan sosial yang lebih baik dan memiliki tingkat stress yang rendah. Resiliensi sebagai kemampuan untuk secara terus menerus mendefinisikan diri dan pengalaman, menjadi dasar untuk proses kehidupan yang menghubungkan antara sumber daya individu dan spiritual.
Faktor-faktor dari resiliensi dan bagian-bagiannya adalah sebagai berikut:
Faktor resiliensi
Bagian-bagiannya
I Am
1)      Bangga pada diri sendiri
2)      Perasaan dicintai dan sikap yang menarik
3)      Mencintai, empati, altruistic
4)      Mandiri dan bertanggung jawab

I Have
1)      Struktur dan aturan rumah
2)      Role Models
3)      Mempunyai hubungan

I Can
1)      Mengatur berbagai perasaan dan rangsangan
2)      Mencari hubungan yang dapat dipercaya
3)      Keterampilan berkomunikasi
4)      Mengukur temperamen diri sendiri
dan orang lain
5)      Kemampuanmemecahkan masalah



Daftar Pustaka
Black, K., & Lobo, M. (2008). A Conceptual Review of Family Resilience Factors. Journal of Family Nursing, 14(1), Iowa State University.
Mustopo, Habib. 1983. Ilmu Budaya Dasar (Kumpulan Essay-Manusia dan Budaya). Surabaya: Usaha Nasional
Notowidagdo, Rohiman. 2002. Ilmu Budaya Dasar berdasarkan Al-Qur’an dan Hadits. Jakarta: Raja Grafindo Persada
Resiliensi. http://id.wikipedia.org/wiki/Resiliensi, diakses tgl 10/5/2011
Ridha Zulfajri. pengertian resiliensi-belajar psikologi. http//ridha-zulfajri.blogspot.com/2010/01/ resiliensi.htm, diakses tgl 10/5/2011
Widagdho, Djoko. 1994. Ilmu Budaya Dasar. Jakarta: Bumi Aksara


[1] http://id.wikipedia.org/wiki/Resiliensi, diakses tgl 10/5/2011

[2] Rohiman Notowidagdo, Ilmu Budaya Dasar berdasarkan Al-qur’an dan Hadits, (Jakarta, PT Raja Grafindo Persada, 2002) hlm. 165
[3] Ridha Zulfajri.pengertian resiliensi-belajar psikologi. http//ridha-zulfajri.blogspot.com/ 2010/01/resiliensi.htm, diakses tgl 10/5/2011
[4] Djoko widagdho, ilmu budaya dasar, (Jakarta:Bumi Aksara, 1994), hlm.196
[5] Black, K., & Lobo, M, A Conceptual Review of Family Resilience Factors, Journal of Family Nursing, 14(1), (Iowa State University: 2008) Hal. 33-55.

Tidak ada komentar:

Posting Komentar